Di dunia ini, hidup adalah tantangan. Hidup adalah perjuangan. Terlahir sebagai gay, ataupun sebagai hetero, tidak lantas menjadikan kita seorang pecundang yang bersembunyi dari balik perasaan karena kita merasa berbeda. Bukan itu. Tapi bagaimana cara kita untuk melanjutkan hidup, tanpa memperdulikan apa identitas seksual kita, apa identitas gender kita, tapi lebih kepada kita sudah berbuat apa untuk menjadikan hidup ini lebih baik. Dan disitulah tantangannya.
Saya adalah termasuk gay yang memilih coming out kepada teman terlebih dahulu. Dulu sempat ada kekhawatiran untuk coming out kepada keluarga. Ada banyak gambaran ketakutan-ketakutan berlebihan terkait pilihan saya untuk memutuskan coming out terhadap keluarga. Namun yang menjadi alasan kuat saya hanya satu. Yaitu mencoba. Karena bagaimanapun, saya tidak akan pernah tahu kebenaran macam apa yang bakal saya terima apabila saya memilih coming out terhadap keluarga. Tentunya sebelum coming out, saya sudah mempersiapkan banyak hal. Yang terpenting pertama, tentu saja, saya sudah berdamai dengan diri saya sendiri. Siapa saya. Karena percuma saja bila kita memilih coming out kepada keluarga, namun urusan penerimaan diri belum selesai. Dan yang kedua selain penerimaan diri, tentu saja kemapanan. Kemungkinan terburuk adalah diusir dari rumah. Dan solusi adalah bagaimana kita bisa bertahan hidup. Dan saya pribadi yakin, apa yang menjadi pilihan saya bukan pilihan yang salah. Dan ketika membuat pengakuan ke orang tua, reaksinya justru berbalik dari apa yang telah saya bayangkan. Ibu saya hanya bisa diam. Berusaha untuk belajar memahami siapa saya. Dan dia berusaha keras untuk bisa menerima kondisi saya. Dan disitulah tugas saya untuk membantunya memahami kepribadian saya. Dan pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit, komunikasi dan sharing informasi terkait apa itu homoseksualitas terus berjalan. Walhasil, tidak ada pengusiran. Keluarga pelan-pelan ternyata bisa menerima. Dan life is beautiful.
Komunitas gay di Jakarta ini sangat beragam. Banyak jenis. Dari yang tertutup hingga yang terbuka. Dari yang kelompoknya orang menengah biasa hingga yang mengkhususkan diri hanya yang punya koleksi prada, whatever lah. Sehingga disitu kadang saya merasa sedih…. Memangnya kenapa kalauhal tersebut benar-benar ada? Karena pada kenyataannya itu adalah pilihan. Toh, di lingkungan kaum heteroseksual pun juga ada yang tak kalah heboh terkait komunitas hetero-nya. Justru dari situ bisa saya tarik garis kesimpulan, kita menjadi (dianggap) berbeda, ya karena kita tidak dianggap sama. Kita (gay dan hetero) akan setara justru bila kita bisa memandang bahwa tidak ada yang berbeda diantara kita semua. Bukan berarti juga orang lain dipaksa untuk bisa memahami kita, namun dari gay nya sendiri malah ingin dieksklusifkan, sama juga bohong. Mau bergabung di komunitas mana, semua ada konsekuensinya.
Kalau kita ingin dianggap sama atau setara, jangan pernah kita merasa berbeda. Tapi merasa lah bahwa kita terlahir istimewa dan diciptakan untuk melengkapi perbedaan yang pada dasarnya satu sama. SAMA-SAMA MANUSIA!”
In English:
“For me, being gay is part of a life process to becoming a human being. There are no differences between a heterosexual or any other sexual orientation. Let alone when we are faced with gender differentiation. At the end, being born as who I am, it won’t make any any difference. I used to think that I was different. But now, until this second, as a gay I feel the same as with other human beings.
In this world, life is a challenge. Life is a fight. Born as gay or straight, doesn’t make us a loser who has to hide behind our feelings because we’re different. It’s not that. It’s how we continue with our life, without care about our sexual identity, our gender identity, but what matters is more on what have we done to make this life better. This is the challenge.
I am a gay who chose to come out to my friend first. I used to worry about coming out to my family. There were so many unreasonable fears when I wanted to come out to my family. But the only thing that became strong was my need to try. Because no matter how, I would never find out what would happen to me from coming out to my family if I didn’t give it a try. Of course I prepared many things because I actually did it. The most important for sure was to make peace with myself. Who am I. Because it would be a waste if I came out to my family without accepting myself first. The second thing after self-acceptance was my ability to support myself. The worst possibility for me was being kicked out of the house. And the solution was how would I survive if that happened. Personally I am sure that my choice was not a wrong choice. And when I did it, the reaction was totally different than what I had imagined before. My mom was just silent. Trying to understand me. She was trying really hard to understand my condition. That’s where I feel it should be my task to help her understand my personality. Slowly but surely, bit by bit, communication and information sharing about homosexuality keeps flowing. At the end, no eviction. My family slowly accepted it. And Life is beautiful.
The gay community in Jakarta is so varied. There are so many of them. From the closeted ones to the open ones. From the middle class to those who only own Prada. Whatever. That’s why sometime I feel sad. So what if those things really exist. Because in reality, it’s just is a choice. In the straight community we can find the same thing as well. That’s why I can make an assumption that we want to be treated differently. We (gay and straight) will only be equal when we are able to see that we are no different compared to one other. Not by forcing other people to understand us. But if we as gays want to be treated exclusively, it wont work at all. No matter which community that you want to join, there will always be consequences.
If we want to be treated equally, don’t think that we are different. Think that we are born in a special way and created with differences which are basically same. Same human being.”